BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia itu diwajibkan untuk menuntut ilmu atau belajar. Dimana
dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman
dan bertawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Yang mana akhir-akhir ini salah satu pendekatan yang banyak dibicarakan
oleh masyarakat adalah pendekatan pembelajaran kontekstual yang sering disebut
dengan CTL. CTL ini merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa
secara penuh dalam proses pembelajaran yang mana siswa didorong untuk
beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik pelajaranya.
Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi
belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses
berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, tidak
hanya berkembang dalam aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga
psikomotor.
Strategi pembelajaran afekti memang
berbeda dengan strategi kognitif dan terampil. Pembelajaran afektif
berhubungan dengan value atau nilai yang
sulit diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari
dalam. Dan dalam batas tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian
behavioral, akan tetapi penilainya untuk sampaui pada kesimpulan yang bisa
dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitiandan observasi yang terus-menerus.
Dibawah ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang pembelajaran konstektual dan
pembelajaran afektif, baik itu dari segi konsep, latar belakang, atau pun
macam-macam dari pembelajaran konstektual dan pembelajaran afektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. STRETEGI
PEMBELAJARAN KONSTEKSTUAL
A.
Konsep
Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep
tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami yaitu:
1.
CTL
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi.
2.
CTL
mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata.
3.
CTL
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan.
Materi pembelajaran dalam konteks CTL bukan ditumpuk diotak dan kemudian
dilupakan, akan tetapi sebagai bekal meraka untuk mengurangi kehidupan nyata.
Sehubung dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses
pembelajaran yang menggunakan pendekata CTL yaitu:
a)
Dalam
CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (
activiting knowledge).
b)
Pembelajaran
yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah
pengetahuan baru (acquiring knowledge).
c)
Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan
tuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
d)
Mempraktikan
pengetahuan dan pengalaman tersebut( applying knowledge).
e)
Melakukan
refleksi (reflecting knowledge), terhadap strategi pengenbangan pengetahuan.
B.
Latar
Belakang Filosofis dan Psikologis
1.
Latar
Belakang Filosofis
CTL banyak
dipengaruhui oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin
dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Pieget. Aliran filsafat konstuktivisme berasal
dari pemikiran epistemologi Giambatista Vico. Vico mengungkapkan: ‘Tuhan
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanya’. Dan pandangan
filsafat konstruktivisme tetang hakikat pengetahuan memengaruhi konsep tentang
proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Sedangkan tokoh lain berpendapat
seperti Pieget yang mengembangkan gagasan konstruktivisme, dia berpendapat
bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian
dinamakan “skema”. Dan skema itu terbentuk karena pengalaman. Sedangkan proses
penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebelum
anak mampu menyempurnakan skema baru, ia akan dihadapi pada posisi
ketidakseimbangan (disequalibrium) yang akan mengganggu psikologi anak tersebut.
Manakala skema telah disempurnakan atau anak akan kembali pada posisi seimbang
(equilibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman
baru.
2.
Latar
Belakang Psikologi
Sesuai dengan yang
mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran subjek, maka dipandang
dari sudut psikologi, CTL berpijak pada aliran psikologi kognitif. Menurut
aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu terhadap
lingkungan.
Dari asumsi dan
latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus kita
pahami tetang belajar dalam konteks CTL yaitu:
a)
Belajar
bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan
pengalaman yang mereka miliki.
b)
Belajar
bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas- lepas.
c)
Belajar
adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahankan masalah anak akan
berkembang secaara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi
juga mental emosi.
C.
Perbedaan
CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
1.
CTL
menempatkan siswa sebagai subjek belajar, sedangkan pembelajaran konvensional
siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima
informasi secara pasif.
2.
Dalam
pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, sedangkan dalam
belajar konvensional siswa lebih banyak belajar sedara individual dengan
menerima, mencatat, dan menghafal materi pembelajaran.
3.
Dalam
CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil, sedangkan dalam
pembelajaran konvensional pembalajaranya bersifat teoritis dan abstrak.
4.
Dalam
CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran
konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan- latihan.
5.
Tujuan
akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasaan diri, sedangkan
dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai atau angka.
D.
Peran
Guru dan Siswa dalam CTL
Setiap siswa
memiliki gaya yang berbeda dalam belajar. Menurut Bobbi Deporter perbedaan itu
dinamakan sebagai unsur modalitas belajar. Menurutnya ada tiga gaya belajar
siswa, yaitu tipe visual, auditorial, kinestatis.
a)
Tipe
Visual
Gaya belajar dengan cara melihat, artinya siswa akan
lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indra penglihatannya.
b)
Tipe
Audiorial
Tipe belajar dengan
cara menggunakan alat pendengarnya
c)
Tipe
Kinestatis
Tipe belajar dengan
cara bergerak, bekerja, dan menyentuh.
E.
Asas-
Asas CTL
Guru perlu
memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa adalah
organisme yang aktif memiliki potensi intuk membangun pengetahuanya sendiri.
Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberikan
kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan
mereka.
CTL disini adalah
sebagai suatu pendekatan belajar yang memiliki tujuh asas atau bisa disebut
komponen- komponen CTL, yaitu:
1.
Konstruktivisme
Konstruktivisme yaitu proses pengetahuan baru dalam
struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme,
pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi dari dalam
diri seseorang. Oleh sebab itu, pengetauan terbentuk oelh dua faktor penting
yaitu, objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk
menginterpretasi objek tersebut.
Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a.
Pengetahuan
bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui objek.
b.
Subjek
membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan
c.
Pengetahuan
dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-
pengalaman seseorang.
Atas dasar asumsi yang mendasarinya itulah, maka
penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran melalui CTL, siswa didorong
untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
2.
Inkuiri
Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:
a.
Merumuskan
masalah
b.
Mengajukan
hipotesis
c.
Mengumpulkan
data
d.
Menguji
hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e.
Membuat
kesimpulan
Penerapan asas ini dalam proses pembelajaran CTL, dimulai
dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan.
3.
Bertanya
(Questioning)
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya
akan sangat berguna untuk:
a.
Menggali
informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran
b.
Membangkitkan
motivasi siswa untuk belajar
c.
Merangsang
keingintahuan siswa terhadap sesuatu
d.
Memfokuskan
siswa pada sesuatu yang diinginkan
e.
Membimbing
siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan
bertanya hampir selalu digunakan. Oleh karena itu, kemampuan guru untuk
mengembangkan teknik- teknik bertanya sangat diperlukan.
4.
Masyarakat
belajar ( Learning Community)
Loe Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia,
menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi
dengan orang lain. Konsep masyarakat belajar ( learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar dapat diperoleh
dari hasil sharing dengan orang lain,
antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu,
yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamanya pada orang lain.
Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat
dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.
5.
Pemodelan
( modeling)
Asas modeling adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Proses
modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru
memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya, siswa yang
berperan menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan
kebolehannya didepan teman- temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap
sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran
CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang
teoretis- abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbslisme.
6.
Refleksi
(Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah
dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian- kejadian
atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui refleksi, pengalaman
belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya
akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
7.
Penilaian
Nyata ( Authentic Assessment)
Penilaian nyata (authentic
assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi
tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan
untuk mengetahui apakah siswa benar- benar belajar atau tidak, apakah
pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan baik
intelektual maupun mental siswa.
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi
dengan proses belajar. Penilaian ini dilakukan secara terus- menerus selama
kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada
proses belajar bukan pada hasil belajar.
F.
Pola
dan Tahapan Pembelajara CTL
Untuk lebih
memahami bagaimana mengaplikasiaka CTL dalam proses pembelajaran, dibawah ini
contoh penerapanya. Dalam contoh tersebut dipaparkan bagaiaman guru menerapkan
pembelajaran dengan pola konvensional dan dengan pola CTL.
1.
Pola
pembelajaran konvensional
Untuk mencapai
tujuan diatas, mungkin guru menerapkan strategi pembelajaran sebagai berikut:
a)
Siswa
disuruh untuk membaca buku tentang hal yang akan dibahas misal (pasar)
b)
Guru
menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan pokok- pokok materi pembelajaran
seperti yang terkandung dalam indikator hasil belajar
c)
Guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mana kala ada hal yang dianggap
kurang jelas (diskusikan)
d)
Guru
mengulas pokok- pokok materi belajar yang telah disampaikan dilanjutkan dengan
menyimpulkan
e)
Guru
melakukan post- tes evaluasi sebagai upaya untuk mengecek terhadap pemahaman
siswa tentang materi pembelajaran yang telah disampaikan
f)
Guru
menugaskan kepada siswa untuk membuat karangan sesuai dengan tema tersebut
2.
Pola
pembelajaran CTL
Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan
CTL, guru melakukan langkah-langkah pembelajaran dibawah ini:
a)
Pendahuluan
b)
Inti
a.
Murid
melakukan observasi ketempat tujuan (dilapangan)
b.
Murid
mendiskusikan hasil temuan mereka masing- masing dan biasanya dilakukan didalam
kelas
c.
Dengan
bantuan guru murud menyimpulkan observasi yang telah dilakuan (penutup)
B.
STRATEGI
PEMBELAJARAN AFEKTIF
A.
Hakikat
Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu
konsep yang berada dalam pikiran manusia
yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia empiris. Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dantidak
indah, layak dan tidak layak dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua
itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahui dari perilaku yang
bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang
menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik dan sebagainya,
sehingga standar itu yang akan mewarnai seseorang. Dengan demikian, pendidikan
nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang
diharapkan, oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang
dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma- norma yang berlaku.
Douglas Graham
melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai
tertentu, yaitu:
a.
Normativist, biasanya kepatuhan pada norma- norma hukum. Kepatuhan normativist terdapat
dalam tiga bentuk:
(1)
Kepatuhan
pada nilai atau norma itu sendiri
(2)
Kepatuhan
pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri
(3)
Kepatuhan
pada hasilnya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
b.
Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-
pertimbangan yang rasional
c.
Fenomenalis, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa- basi
d.
Hedonist, yaitu
kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri
Selanjutnya dari sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini,
terdapat lima tipe kepatuhan yaitu:
a.
Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut- ikutan
b.
Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu:
(1)
Comformist directed yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang
lain
(2)
Comformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorentasi pada untung- rugi
(3)
Comformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri
sendiri dengan kepentingan masyarakat
c.
Compulsive deviant yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d.
Hedonik psikopatik yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan
kepentingan orang lain
e. Supramoralist
yaitu kepatuhan karena
keyakinan yang tinggi terhadap nilai- nilai norma
Menurut
Gulo (2005), ia menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:
a.
Nilai
tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilan
b.
Pengembangan
domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik
c.
Masalah
ini adalah emosioanal dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa
dibina
d.
Perkembangan
nilai atau norma tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu
B.
Proses
Pembentukan Sikap
1.
Pola
Pembiasaan
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari
maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses
pembiasaan. Misalnya, (siswa terhadap guru) perilaku mengejek atau perilaku
yang menyinggung perasaan anak, maka lama- kelamaan akan timbul rasa benci dari
anak tersebut, dan perlahan- lahan anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan
hanya kepada gurunya sendiri, akan tetapi juga kepaa mata pelajaran yang
dibawanya.
2.
Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui
proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses
mencontoh. Hal yang ditiru itu adalah perilaku- perilaku yang diperagakan atau
didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang
dimaksud dengan modeling. Modeling
adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau
oarang yang dihormatinya.
Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum. Anak
kagum kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa
melakukan segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Proses penanaman sikap
anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan
secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan.
Hal ini diperlukana agar sikap tertentu yang muncul benar- benar didasari oleh
suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.
C.
Model
Strategi Pembelajaran Sikap
1.
Model
Konsideransi
Model konsideransi (the
consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Dia
menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang
rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian
bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada
strategi pembelajaran yang dapat melakukan bentuk kepribadian. Tujuannya adalah
agar siswa menjadai manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahap
pembelajaran sebagai berikut:
a.
Menghadapkan
siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari- hari
b.
Menyuruh
siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut
c.
Menyuruh
siswa untuk menulis tanggapanya terhadap permasalahanya yang dihadapinya
d.
Mengajak
siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap
respon yang diberi siswa
e.
Mendorong
siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa
2.
Model
Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence
Kohlberg. Menurutr Kohlberg, moral manusia itu dikembangkan melalui 3 tingkat,
dan disetiap tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu:
a.
Tingkat
Prakonvensional
Pada tingkatan ini
setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingan sendiri. Pada tingkatan
prakonvensional ini memiliki dua tahap.
(1)
Orientasi
hukuman dan kepatuhan
(2)
Orientasi
instrumental-relatif
b.
Tingkat
Konvensional
Pada tahap ini anak
mendekati masalah berdasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Kesadaran
dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma
dan aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat. Pada tingkatan ini mempunyai dua
tahap sebagai kelanjutan dari tahap tingkatan prokonvensional.
(3)
Keselarasan
interpersonal
(4)
Sistem
sosial dan kata hati
c.
Tingkat
Postkonvesional
Pada tingkatan ini
bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang
berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai
yang dimilikinya secara individu. Pada tingkatan ini terdapat pula dua tahapan
yang juga berhubungan pada tingkatan sebelumnya.
(5)
Kontrak
sosial
(6)
Prinsip
etis yang universal
3.
Teknik
Mengklarifikasi Nilai
Teknik Mengklarifikasi Nilai (value clarification
technique) atau sering disingkat VCT, artinya teknik pengajaran untuk membantu
siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai
atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru,
artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan
nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa.
Karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi
pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses
analisi nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskan
dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.
Tujuan VCT sebagai suatu model dalam strategi
pembelajaran moral adalah:
1.
Untuk
mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai
2.
Membina
kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatanya maupun
sifatnya (positif dan negatif) untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan
pembetulan
3.
Untuk
menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan
diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa
D.
Kesulitan
dalam Pembelajaran Afektif
Proses pendidikan
bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan keterampilan tertentu saja,
akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agaranak berperilaku sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Namun demikian, dalam proses
pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal
ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa
kesulitan.
1.
Selama
ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cendrung diarahkan
untuk membentuk intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan
dan proses pembelajaran disekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan
intelektual (kemampuan kognitif).
2.
Sulitnya
melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat memengaruhi perkembangan
sikap seseorang baik melaui prose pembiasaan maupun modeling bukan hanya
ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama
faktor lingkungan.
3.
Keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan cara segera. Berbeda dengan
pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui
setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap
baru dapa dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang.
4.
Adanya
pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Stretegi
pembelajaran konstekstual
A.
Konsep
Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari.
B.
Latar
belakang filosofis dan psikologi CTL
-
Latar
Belakang Filosofis
CTL banyak dipengaruhui oleh filsafat konstruktivisme
yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean
Pieget. Aliran filsafat konstuktivisme berasal dari pemikiran epistemologi
Giambatista Vico. Vico mengungkapkan: ‘Tuhan pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaanya’.
-
Latar
belakang filosofi
CTL berpijak pada aliran psikologi kognitif, latar
belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus kita pahami
tetang belajar dalam konteks CTL yaitu:
a)
Belajar
bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan
pengalaman yang mereka miliki.
b)
Belajar
bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas- lepas.
c)
Belajar
adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahankan masalah anak akan
berkembang secaara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi
juga mental emosi.
C.
Perbedaan
CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
1.
CTL
menempatkan siswa sebagai subjek belajar, sedangkan pembelajaran konvensional
siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima
informasi secara pasif.
2.
Dalam
pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, sedangkan dalam
belajar konvensional siswa lebih banyak belajar sedara individual dengan
menerima, mencatat, dan menghafal materi pembelajaran.
D.
Peran
Guru dan Siswa dalam CTL
a)
Tipe
Visual
b)
Tipe
Audiorial
c)
Tipe
Kinestatis
E.
Asas-
Asas CTL
1.
Konstruktivisme
2.
Inkuiri
3.
Bertanya
(Questioning)
4.
Masyarakat
belajar ( Learning Community)
5.
Pemodelan
( modeling)
6.
Refleksi
(Reflection)
7.
Penilaian
Nyata ( Authentic Assessment)
F.
Pola
dan Tahapan Pembelajara CTL
1.
Pola
pembelajaran konvensional
2.
Pola
pembelajaran CTL
G.
Strategi
pembelajaran afektif
-
Hakikat
Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu
konsep yang berada dalam pikiran manusia
yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia empiris. Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dantidak
indah, layak dan tidak layak dan sebagainya.
H.
Proses
Pembentukan Sikap
1.
Pola
Pembiasaan
2.
Modeling
I.
Model
strategi pembelajaran sikap
1.
Model
konsiderasi
2.
Model
pengembangan kognitif
3.
Teknik
mengklarifikasi nilai
J.
Kesulitan
dalam pembelajaran afektif
Proses pendidikan
bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan keterampilan tertentu saja,
akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agaranak berperilaku sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Namun demikian, dalam proses
pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal
ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa
kesulitan.
DAFTAR PUSTAKA
Wina,
Sanjaya, 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.