12/20/2012

Melahirkan Generasi Qur’ani


Suatu hari seseorang pemuda berjalan di sebuah desa yang sangat asri, dihiasi oleh banyak pepohonan, udara yang penuh dengan kesejukan, sungai-sungai yang mengalir begitu jernihnya, sebuah perjalanan biasanya kebanyakan orang membawa cukup perbekalan baik uang, atau makanan-minuman dan sebagainya. Namun berbeda dengan pemuda ini, bukan karena lupa membawa perbekalan namun ketiadaanya yang membuat pemuda ini tidak membawa apa-apa, perjalanan yang cukup melelahkan membuat pemuda ini merasakan dahaga dan lapar, wajarlah karena memang pemuda ini seorang manusia biasa bukan malaikat.
Singkat cerita pemuda ini melihat ada satu buah yang jatuh dari pohonnya, dengan semangat dan tanpa berfikir panjang, apakah buah itu kotor atau setengah kotor dia tak peduli dengan hal itu langsung saja pemuda ini mengejar dengan rasa riang dan bahagia, ia pun mendapatkannya dengan mudah, dicuci lalu dimakannya setelah membaca basmalah, ia pun menghilangkan dahaga hausnya dengan meminum seteguk air sungai yang segar.
Setelah pemuda ini baru saja memakan setengah dari buahnya lalu tiba-tiba terbesitlah ia, bahwa sesungguhnya dari manakah buah itu berasal? Orang yang bertakwa kepada Allah, jika digoda dengan syetan akan cepat mengingat Allah SWT.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”. (QS Al A’raf:201) Subhanallah.
Lalu pemuda ini menelusuri pohon yang kira-kira dari manakah buah ini berasal, tidak mungkin buah ini datang begitu saja, pasti berasal dari sebuah pohon. Akhirnya pemuda ini menemukan pohon tersebut. Dengan rasa yang sangat takut, karena merasa memakan makanan yang bukan miliknya, seperti takutnya sahabat Abu Bakar ra takkala tahu makanan yang dimakan itu tidak halal, ia segera memasukkan jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makananannya. (HR Bukhari).
Kemudian pemuda ini memberanikan diri untuk masuk ke salah satu rumah penduduk yang diduga pemilik pohon tersebut. Lalu dengan nada suara yang lembut, pemuda ini mengucapkan salam. Setelah berbicara panjang, apa yang ditanyakan oleh pemuda ini dibetulkan oleh pejaga rumah lalu ia pun mendatangi pemilik pohon itu. Pemuda ini kemudian meminta maaf kepada pemilik pohon karena sudah memakan buahnya tanpa seizininnya meskipun bukan maksud mengambilnya, namun karena keadaan spontan dan juga karena ditemukan di tanah.
Pemilik pohon ini, didalam hatinya merasa terkagum-kagum dengan perilaku yang dilakukan pemuda tersebut. Walaupun pemuda ini sudah meminta maaf, namun pemilik kebun tak semudah itu memaafkannya, dikarenakan pemilik kebun merasa ada sesuatu yang beda dengan pemuda ini. Tidak sembarang pemuda, yang ini sangat berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Selanjutnya sang pemilik pohon mau memaafkan kesalahannya asalkan dengan satu syarat, syaratnya adalah jika pemuda ini sanggup maka akan dimaafkan segela kesalahannya. Tanpa berfikir panjang pemuda ini mengiyakannya, karena takutnya kepada Allah SWT (QS. An-Nisa : 29).
Namun ternyata syarat yang diajukan ini sangat mengejutkan, karena syaratnya adalah pemilik pohon menginginkan pemuda ini menikahi putrinya. Dengan rasa berat namun dilandasai dengan keimanan yang kokoh, pemuda ini pun mengiyakan syarat tersebut. Selanjutnya pemilik pohon menceritakan singkat profil putrinya ini. Bahwasanya putrinya ini mempunyai tubuh yang buta, bisu, tuli dan lumpuh. Hal ini sempat menggegerkan kembali hati pemuda tersebut, namun dengan iman yang mantap ia pun mengiyakan itu semua. Lalu terjadilah akad pernikahan. Sesudah pernikahan usai, pemuda ini dipersilahkan masuk menemui istrinya.
Sewaktu pemuda ini hendak masuk ke kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena ia menyakini bahwa malaikat tentu tidak tuli dan bisu. Maka pemuda inipun mengucapkan salam, tak disangka putri yang ada dihadapannya itu menjawab salamnya. Bahkan ketika pemuda ini masuk dan menghampiri putri itu, dia pun mengulurkan tangannya. Pemuda ini terkejut karena putri yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Pemuda ini berkata dalam hatinya, bapak pemilik pohon itu berkata, bahwa putrinya itu tuli dan bisu tetapi mengapa putrinya menyambut salamku? Berarti putri yang ada dihadapannya dapat mendengar dengan baik dan tidak bisu. Kemudian bapak itu juga mengatakan bahwa putrinya buta dan lumpuh tetapi mengapa putrinya menyambut kedatangannya dengan ramah dan mesra? Pemuda ini berpikir sejenak, mengapa bapaknya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan keadaan sebenarnya?
Setelah pemuda ini duduk di kamar putrinya itu, dia bertanya kepada putri itu, bapakmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta, mengapa demikian? Putri itu kemudian menjawab, bapakku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah SWT.
Kemudian pemuda ini bertanya lagi, bapakmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa demikian? Putri itu menjawab, bapakku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah SWT. Bapakmu juga menceritakan kepadaku bahwa kamu bisu dan lumpuh, mengapa demikian? Putri itupun kembali menjawab, aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah SWT saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah SWT. Subhanallah..
Pemuda ini pun merasa sangat bahagia, karena mendapatkan istri yang ternyata sangat sholehah dan putri yang selalu memelihara kehormatan dirinya. Cerita bapak mertuanya ternyata semua itu hanyalah kiasan semata. Dengan bangganya pemuda ini, ia bercerita perihal tentang istrinya, ketika kulihat wajahnya…Subhanallah, Dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Kemudian pemuda sholeh dan pemudi sholehah itu hidup rukun dan bahagia, keluarga penuh dengan keberkahan, keluarga sakinah-mawaddah-warahmah (QS.Ar-Rum:21). Tak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang sangat sholeh, melahirkan generasi qur’ani.
Syarat pertama untuk melahirkan generasi qur’ani adalah mencari makanan yang halal, yang Allah sediakan untuk kita, namun bukan saja Halal, namun juga Thoyyib (QS. Al-Maidah: 88). Sering kita lihat motto salah satu warung makanan, Halalan Thoyyiban, karena jika halal saja tidak cukup, harus thoyyib (baik), karena coba kita lihat kulit duren, bukankah itu halal? boleh dimakan namun tidak thoyyib, dengan memakan makanan yang halal dan thoyyib, kita dihindarkan dari hal-hal yang diharamkan Allah dalam tubuh kita, maka semakin bersih dan sucilah jiwa kita.
Syarat kedua adalah memilih istri yang sholehah (QS An-Nisa: 34). Itu pesan yang sangat penting diantara syarat-syarat orang memilih seorang wanita, Rasulullah Saw sangat menganjurkan untuk memilih istri yang sholehah, karena dia yang akan membahagiakan kita, serta kita pun sangat beruntung mendapatkannnya (HR Bukhari Muslim).
Syarat yang kedua ini juga sangat menentukan masa depan kita, bukan hanya kebahagiaan di dunia saja melainkan akhirat, jika hanya satu diantara orang tua yang sholeh/sholehah, maka akan sulit melahirkan generasi qur’ani, sebagaimana pelajaran dari kisah Nabi Nuh AS. Nabi Nuh adalah seorang Nabi yang tak diragukan lagi ketaatannya kepada Allah SWT, akan tetapi mempunyai istri yang tidak taat kepada suami dan Allah SWT, hasilnya anak pun tidak menjadi anak yang sholeh/sholehah (QS At-Tahriim: 10), yaitu membangkang dan durhaka sehingga istri dan anaknya dibiarkan tenggelam di lautan (QS Hud : 42-43).
Contoh kedua adalah Raja Fir’aun, raja yang sangat beringas, raja yang menuhankan dirinya untuk disembah, yang memerintahkan untuk membunuh seluruh anak-anak kecil laki-laki yang dikhawatirkan akan menumbangkan kerajaannya (QS Al A’raf: 127), suami yang tidak sholeh, tidak taat kepada Allah SWT namun ia memiliki istri yang sholehah, dialah Asiyah, seorang istri raja Fir’aun yang memiliki ketaatan yang begitu baik kepada Allah SWT (QS At-Tahriim: 11).
Ketaatan seorang istri kepada Allah SWT saja tidak cukup, yang tidak dibarengi oleh suami yang sholeh, walhasil akan sulit melahirkan generasi qur’ani. Contoh yang terbaik adalah dialah Abul Anbiya, bapak para Nabi, Nabi Ibrahim AS (QS At-Taubah: 114), mempunyai istri yang sholehah, yang taat kepada Allah SWT, taat sekali kepada suaminya. Dengan demikian maka lahirlah generasi qur’ani, anak yang sholeh, yang taat sekali kepada Allah dan orang tuanya, dialah Nabi Ismail AS (QS. Ash-Shaffat:99-111).
Contoh terakhir adalah dialah penutup para Nabi, Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik, teladan untuk semua manusia (QS Al Ahzab: 21), yang mempunyai istri-istri yang sholehah, yang selalu taat kepada Allah SWT, dan suaminya dan akhirnya pun mempunyai keturuan yang sholeh-sholelah, bukan hanya sampai anaknya saja, melainkan ketaatan kepada Allah SWT yang diikuti oleh keturunan-keturunannya, cucu-cucu beliau, Hasan dan Husein. Subhanallah.
Syarat ketiga adalah memegang ubun-ubun istri dan mendoakannya setelah menikah (HR Abu Dawud, Ibnu Majah), kemudian sholat sunnah 2 rakaat sebelum berhubungan suami-istri (HR Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani) kemudian dilanjutkan dengan seringnya kedua orang tua berdoa kepada Allah sebagaimana doa Nabi Ibrahim AS, “Rabbi hablii minassholihiin” (QS As-Shaffat:100), InshaAllah anak yang akan lahir nanti akan menjadi pelipur lara, penyejuk mata, bukan hanya saja anak akan menjadi penyejuk mata, namun dimasa yang akan datang ia akan menjadi pemimpin diantara orang bertaqwa (QS.Al Furqaan:74).
Syarat keempat adalah menghadirkan suasana islami didalam keluarga kita, mendengarkan bacaan Alquran baik melalui kaset, cd, ataupun lainnya. Adapun yang terbaik adalah suara yang dibacakan langsung oleh kedua orang tuanya, sebagaiman Rasulullah Saw bersabda : “Terangilah rumahmu dengan membaca Alquran dan Sholat Sunnah” (HR. Bukhari). Meluangkan waktu keluarga untuk Alquran, dengan cara membaca, menghafal, mengulang, menghayati, mengamalkan dan memasyarakatkannya. Generasi qur’ani adalah generasi yang sangat cinta dengan Alquran, seringnya, akbrabnya dengan Alquran, oleh sebab itu seseorang yang paling baik, paling pandai bacaan Alqurannya, ia paling layak dan pantas menjadi pemimpin sholat (HR Muslim).
Syarat kelima adalah selalu menjaga, memelihara anak dari api neraka, bukan hanya menyelamatkan diri kita sendiri, melainkan menyelamatkan juga keluarga dan lingkungan kita (QS-At-Tahriim: 6).
Syarat keenam adalah senantiasa membina anak dalam pendidikan yang islami, baik itu pendidikan umum ataupun syar’i, kejarlah pendidikan dengan setinggi-tingginya, menjadi pakar ataupun guru besar, akan tetapi perlu ditekankan bahwa dengan pendidikan itulah membuat anak kita semakin takut kepada Allah SWT, seperti takutnya kambing akan terkaman serigala, (QS Faatir: 28), (HR Bukhari). Mewariskan yang terbaik untuk anak bukan hanya harta (QS Al-Kahfi: 80-81), namun juga dibarengi dengan ilmu (Ali bin Abi Thalib). Dengan kedua hal itu mampu menjaga anak kita dari miskinnya harta, dan banyaknya keberkahan ilmu. InshaAllah.