2/06/2013

“Strategi Pembelajaran Konstekstual dan Strategi Pembelajaran Afektif ”


BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia itu diwajibkan untuk menuntut ilmu atau belajar. Dimana dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Yang mana akhir-akhir ini salah satu pendekatan yang banyak dibicarakan oleh masyarakat adalah pendekatan pembelajaran kontekstual yang sering disebut dengan CTL. CTL ini merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran yang mana siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik pelajaranya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, tidak hanya berkembang dalam aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor.
Strategi pembelajaran afekti memang  berbeda dengan strategi kognitif dan terampil. Pembelajaran afektif berhubungan dengan value atau  nilai yang sulit diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dan dalam batas tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilainya untuk sampaui pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitiandan observasi yang terus-menerus. Dibawah ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang pembelajaran konstektual dan pembelajaran afektif, baik itu dari segi konsep, latar belakang, atau pun macam-macam dari pembelajaran konstektual dan pembelajaran afektif.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    STRETEGI PEMBELAJARAN KONSTEKSTUAL

A.    Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami yaitu:
1.      CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi.  
2.      CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata.
3.      CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan.
Materi pembelajaran dalam konteks CTL bukan ditumpuk diotak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal meraka untuk mengurangi kehidupan nyata. Sehubung dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekata CTL yaitu:
a)      Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada ( activiting knowledge).
b)      Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).
c)      Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan tuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
d)     Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut( applying knowledge).
e)      Melakukan refleksi (reflecting knowledge), terhadap strategi pengenbangan pengetahuan.

B.     Latar Belakang Filosofis dan Psikologis

1.      Latar Belakang Filosofis
CTL banyak dipengaruhui oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Pieget. Aliran filsafat konstuktivisme berasal dari pemikiran epistemologi Giambatista Vico. Vico mengungkapkan: ‘Tuhan pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanya’. Dan pandangan filsafat konstruktivisme tetang hakikat pengetahuan memengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Sedangkan tokoh lain berpendapat seperti Pieget yang mengembangkan gagasan konstruktivisme, dia berpendapat bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan “skema”. Dan skema itu terbentuk karena pengalaman. Sedangkan proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebelum anak mampu menyempurnakan skema baru, ia akan dihadapi pada posisi ketidakseimbangan (disequalibrium) yang akan mengganggu psikologi anak tersebut. Manakala skema telah disempurnakan atau anak akan kembali pada posisi seimbang (equilibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman baru.

2.      Latar Belakang  Psikologi
Sesuai dengan yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran subjek, maka dipandang dari sudut psikologi, CTL berpijak pada aliran psikologi kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu terhadap lingkungan.
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus kita pahami tetang belajar dalam konteks CTL yaitu:
a)      Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki.
b)      Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas- lepas.
c)      Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahankan masalah anak akan berkembang secaara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental emosi.

C.     Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
1.      CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, sedangkan pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2.      Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, sedangkan dalam belajar konvensional siswa lebih banyak belajar sedara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pembelajaran.
3.      Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil, sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembalajaranya bersifat teoritis dan abstrak.
4.      Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan- latihan.
5.      Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasaan diri, sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai atau angka.

D.    Peran Guru dan Siswa dalam CTL
Setiap siswa memiliki gaya yang berbeda dalam belajar. Menurut Bobbi Deporter perbedaan itu dinamakan sebagai unsur modalitas belajar. Menurutnya ada tiga gaya belajar siswa, yaitu tipe visual, auditorial, kinestatis.
a)      Tipe Visual
Gaya belajar dengan cara melihat, artinya siswa akan lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indra penglihatannya.
b)      Tipe Audiorial
Tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarnya
c)      Tipe Kinestatis
Tipe belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh.

E.     Asas- Asas CTL
Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme yang aktif memiliki potensi intuk membangun pengetahuanya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberikan kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL disini adalah sebagai suatu pendekatan belajar yang memiliki tujuh asas atau bisa disebut komponen- komponen CTL, yaitu:
1.      Konstruktivisme
Konstruktivisme yaitu proses pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, pengetauan terbentuk oelh dua faktor penting yaitu, objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut.
Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a.       Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui objek.
b.      Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan
c.       Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman- pengalaman seseorang.
Atas dasar asumsi yang mendasarinya itulah, maka penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran melalui CTL, siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
2.      Inkuiri
Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:
a.    Merumuskan masalah
b.    Mengajukan hipotesis
c.    Mengumpulkan data
d.   Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e.    Membuat kesimpulan
Penerapan asas ini dalam proses pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan.
3.      Bertanya (Questioning)
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
a.    Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran
b.    Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar
c.    Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu
d.   Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan
e.    Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu digunakan. Oleh karena itu, kemampuan guru untuk mengembangkan teknik- teknik bertanya sangat diperlukan.
4.      Masyarakat belajar ( Learning Community)
Loe Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Konsep masyarakat belajar ( learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamanya pada orang lain.
Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.
5.      Pemodelan ( modeling)
Asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya, siswa yang berperan menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya didepan teman- temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis- abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbslisme.
6.      Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian- kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
7.      Penilaian Nyata ( Authentic Assessment)
Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar- benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses belajar. Penilaian ini dilakukan secara terus- menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan pada hasil belajar.

F.      Pola dan Tahapan Pembelajara CTL
Untuk lebih memahami bagaimana mengaplikasiaka CTL dalam proses pembelajaran, dibawah ini contoh penerapanya. Dalam contoh tersebut dipaparkan bagaiaman guru menerapkan pembelajaran dengan pola konvensional dan dengan pola CTL.
1.      Pola pembelajaran konvensional
Untuk mencapai tujuan diatas, mungkin guru menerapkan strategi pembelajaran sebagai berikut:
a)      Siswa disuruh untuk membaca buku tentang hal yang akan dibahas misal (pasar)
b)      Guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan pokok- pokok materi pembelajaran seperti yang terkandung dalam indikator hasil belajar
c)      Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mana kala ada hal yang dianggap kurang jelas (diskusikan)
d)     Guru mengulas pokok- pokok materi belajar yang telah disampaikan dilanjutkan dengan menyimpulkan
e)      Guru melakukan post- tes evaluasi sebagai upaya untuk mengecek terhadap pemahaman siswa tentang materi pembelajaran yang telah disampaikan
f)       Guru menugaskan kepada siswa untuk membuat karangan sesuai dengan tema tersebut
2.      Pola pembelajaran CTL
Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL, guru melakukan langkah-langkah pembelajaran dibawah ini:
a)      Pendahuluan
b)      Inti
a.       Murid melakukan observasi ketempat tujuan (dilapangan)
b.      Murid mendiskusikan hasil temuan mereka masing- masing dan biasanya dilakukan didalam kelas
c.       Dengan bantuan guru murud menyimpulkan observasi yang telah dilakuan (penutup)

B.     STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
A.    Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran  manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dantidak indah, layak dan tidak layak dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahui dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik dan sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma- norma yang berlaku.
Douglas Graham melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a.       Normativist, biasanya kepatuhan pada norma- norma hukum. Kepatuhan normativist terdapat dalam tiga bentuk:
(1)   Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri
(2)   Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri
(3)   Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
b.      Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan- pertimbangan yang rasional
c.       Fenomenalis, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa- basi
d.      Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri
Selanjutnya dari sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini, terdapat lima tipe kepatuhan yaitu:
a.       Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut- ikutan
b.      Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu:
(1)   Comformist directed yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain
(2)   Comformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorentasi pada untung- rugi
(3)   Comformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat
c.       Compulsive deviant yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d.      Hedonik psikopatik yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain
e.       Supramoralist yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai- nilai norma
Menurut Gulo (2005), ia menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:
a.       Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilan
b.      Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik
c.       Masalah ini adalah emosioanal dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina
d.      Perkembangan nilai atau norma tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu

B.     Proses Pembentukan Sikap
1.      Pola Pembiasaan
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya, (siswa terhadap guru) perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka lama- kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut, dan perlahan- lahan anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan hanya kepada gurunya sendiri, akan tetapi juga kepaa mata pelajaran yang dibawanya.
2.      Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Hal yang ditiru itu adalah perilaku- perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau oarang yang dihormatinya.
Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum. Anak kagum kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukana agar sikap tertentu yang muncul benar- benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

C.     Model Strategi Pembelajaran Sikap
1.      Model Konsideransi
Model konsideransi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat melakukan bentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadai manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahap pembelajaran sebagai berikut:
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari- hari
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut
c.       Menyuruh siswa untuk menulis tanggapanya terhadap permasalahanya yang dihadapinya
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberi siswa
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa
2.      Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Menurutr Kohlberg, moral manusia itu dikembangkan melalui 3 tingkat, dan disetiap tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu:
a.       Tingkat Prakonvensional
Pada tingkatan ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingan sendiri. Pada tingkatan prakonvensional ini memiliki dua tahap.
(1)   Orientasi hukuman dan kepatuhan
(2)   Orientasi instrumental-relatif
b.      Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah berdasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat. Pada tingkatan ini mempunyai dua tahap sebagai kelanjutan dari tahap tingkatan prokonvensional.
(3)   Keselarasan interpersonal
(4)   Sistem sosial dan kata hati
c.       Tingkat Postkonvesional
Pada tingkatan ini bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkatan ini terdapat pula dua tahapan yang juga berhubungan pada tingkatan sebelumnya.
(5)   Kontrak sosial
(6)   Prinsip etis yang universal
3.      Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik Mengklarifikasi Nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT, artinya teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa.
Karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisi nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskan dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.
Tujuan VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral adalah:
1.      Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai
2.      Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatanya maupun sifatnya (positif dan negatif) untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan pembetulan
3.      Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa

D.    Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agaranak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Namun demikian, dalam proses pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
1.      Selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cendrung diarahkan untuk membentuk intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran disekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif).
2.      Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat memengaruhi perkembangan sikap seseorang baik melaui prose pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan.
3.      Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan cara segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapa dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang.
4.      Adanya pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.


BAB III
KESIMPULAN
1.      Stretegi pembelajaran konstekstual
A.    Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari.
B.     Latar belakang filosofis dan psikologi CTL
-          Latar Belakang Filosofis
CTL banyak dipengaruhui oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Pieget. Aliran filsafat konstuktivisme berasal dari pemikiran epistemologi Giambatista Vico. Vico mengungkapkan: ‘Tuhan pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanya’.
-          Latar belakang filosofi
CTL berpijak pada aliran psikologi kognitif, latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus kita pahami tetang belajar dalam konteks CTL yaitu:
a)      Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki.
b)      Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas- lepas.
c)      Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahankan masalah anak akan berkembang secaara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental emosi.
C.     Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
1.      CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, sedangkan pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2.      Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, sedangkan dalam belajar konvensional siswa lebih banyak belajar sedara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pembelajaran.
D.    Peran Guru dan Siswa dalam CTL
a)      Tipe Visual
b)      Tipe Audiorial
c)      Tipe Kinestatis
E.     Asas- Asas CTL
1.      Konstruktivisme
2.      Inkuiri
3.      Bertanya (Questioning)
4.      Masyarakat belajar ( Learning Community)
5.      Pemodelan ( modeling)
6.      Refleksi (Reflection)
7.      Penilaian Nyata ( Authentic Assessment)
F.      Pola dan Tahapan Pembelajara CTL
1.      Pola pembelajaran konvensional
2.      Pola pembelajaran CTL
G.    Strategi pembelajaran afektif
-          Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran  manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dantidak indah, layak dan tidak layak dan sebagainya.
H.    Proses Pembentukan Sikap
1.      Pola Pembiasaan
2.      Modeling
I.       Model strategi pembelajaran sikap
1.      Model konsiderasi
2.      Model pengembangan kognitif
3.      Teknik mengklarifikasi nilai
J.       Kesulitan dalam pembelajaran afektif
Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agaranak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Namun demikian, dalam proses pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.


DAFTAR PUSTAKA

Wina, Sanjaya, 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.